MAGISTER PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM UNIB

BUMI LESTARI LANGIT BEBAS POLUSI

September 22, 2011

Filed under: lingkungan — Urip Santoso @ 12:49 am
Tags: ,

 

HUTAN MANGROVE

Oleh : RAHMAWATI, S.St.Pi

 Abstract

            Irwanto (2006) stated that the mangrove forest area estimated worldwide area of 15.429 million ha, 25% of them include the Caribbean coastline and up to 75% cover other coastal areas such as in South America and Asia. While in Indonesia alone is estimated Mangrove forest area covering about 4.25 million ha or about 27% of the world’s mangrove area. Some mangrove species encountered coastal area of Indonesia is Mangrove (Rhizopora spp.), Apiapi (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp), Tancang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.), Tengar (Ceriops spp.), and Blind-blind (Ecoeceria s

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, namun sudah semakin kritis ketersediaannya (Bengen, 2002). Dibeberapa daerah wilayah pesisir di Indonesia sudah terlihat adanya degradasi dari hutan mangrove akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas kelestariannya. Hutan mangrove telah dirubah menjadi berbagai kegiatan pembangunan seperti perluasan areal pembangunan dermaga dan lain-lain sebagainya.

Hutan mangrove juga dapat mendukung kehidupan di wilayah pesisir dan kelautan. Menurut Suwandhi & Heryadi (2007),  kawasan pesisir hutan mangrove merupakan habitat yang baik bagi ikan, yaitu untuk pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), maupun sebagai tempat mencari makan atau pembesaran. Hal ini tentu saja dapat menguntungkan nelayan, terutama nelayan tradisional yang sarana/armada penangkapannya masih sangat sederhana dan biasanya menangkap ikan di kawasan hutan mangrove.

Kondisi hutan mengrove sampai saat ini mengalami tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang kurang memperhatikan aspek kelestarian.  Tuntutan dan pembangunan yang lebih menekankan pada tujuan ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, seperti konversi hutan mangrove untuk pengembangan kota pantai (pemukiman), perluasan tambak dan lahan pertanian serta adanya penebangan yang tidak terkendali telah terbukti, bahwa penggunaan lahan tersebut tidak sesuai dengan peruntukannya dan melampaui daya dukungnya, sehingga terjadi kerusakan ekosistem hutan mangrove. Kondisi ini diperberat lagi dengan terjadinya pencemaran air sungai/air laut dan eksploitasi sumberdaya laut yang tak ramah lingkungan.

 1.2 Tujuan dan Manfaat

Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran pengetahuan tentang “hutan mangrove” sebagai wilayah pesisir. Selain itu makalah ini juga disusun untuk menutupi salah satu tugas mata kuliah Penyajian Ilmiah. Adapun manfaat dari makalah ini, yaitu dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca dan penulis.

 

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Pengertian Mangrove

Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Hutan Mangrove pasal 1 Nomor 201 Tahun 2004, Mangrove adalah sekumpulan tumbuh-tumbuhan Dicotyledoneae dan atau Monocotyledoneae terdiri atas jenis tumbuhan yang mempunyai hubungan taksonomi sampai dengan taksa kelas (unrelated families) tetapi mempunyai persamaan adaptasi morfologi dan fisiologi terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut.

Kata mangrove  merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Onrizal, 2008). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut, sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu jenis tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Dimana secara ekologi termasuk didalamnya semak dan pohon-pohon yang terdapat di zona intertidal dan subtidal dangkal rawa pasang surut, daerah tropik dan subtropik. Hogarth (1999) vegetasi mangrove merupakan tumbuhan berkayu, maupun semak belukar yang menempati habitat antara darat dan laut yang tergenang air laut secara periodik

Simbolon (1990) menggunakan kata mangrove untuk kelompok ekologi jenis tumbuhan yang mendiami lahan pasang surut dan untuk komunitas tumbuhan yang terdiri atas jenis tersebut. Sediadi (1990) merekomendasikan kata mangrove sebaiknya digunakan baik untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut.  Adapun Suwandhi dan Heryadi (2007) menyatakan bahwa mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Hutan mangrove menurut Irwanto (2006) adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob.

Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung dan muara sungai) yang tergenang pada saat pasang, namun bebas dari genangan pada saat surut, serta memiliki komunitas tumbuhan yang bertoleransi terhadap garam.  Sedangkan ekosistem mangrove sendiri adalah suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove.

Istilah “bakau” adalah sebutan bagi jenis utama pohon Rhizophora sp. yang dominan hidup di habitat pantai, walaupun tidak sama dengan istilah mangrove banyak orang atau penduduk awam menyebut hutan mangrove sebagai hutan bakau atau secara singkat disebut bakau.

Irwanto (2006) menyatakan bahwa daerah hutan Mangrove dunia yang diperkirakan seluas 15.429.000 ha, 25 % nya meliputi garis pantai kepulauan Karibia dan sampai 75 % meliputi daerah pantai lainnya seperti di kawasan Amerika Selatan dan Asia.  Sedangkan di Indonesia sendiri luas hutan Mangrove diperkirakan meliputi areal sekitar 4,25 juta ha atau sekitar 27 % luas Mangrove di dunia.

2.2 Kondisi Habitat Hutan Mangrove

Tanaman mangrove dari segi fisiologis yang menonjol adalah tanaman tersebut dapat tumbuh dan tahan pada tanah yang mengandung garam dari genangan air laut sehingga dikenal dengan istilah halofit. Namun, tanaman mangrove ini juga tumbuh dengan baik di air tawar sehingga tanaman mangrove dikenal dengan halofit fakultatif. (Suwandhi dan Heryadi, 2007). Untuk lebih jelasnya mengenai kondisi pantai tempat tumbuh hutan mangrove dapat dilihat pada

Pada sisi lain, tanaman mangrove harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap kondisi tanah yang berlumpur dan kekurangan oksigen. Salah satu pemecahannya adalah dengan morfologi sistem perakaran yang istimewa dan berfungsi sebagai akar napas (Pneumatofora), serta penunjang tegaknya pohon. Flora mangrove memiliki sistem perakaran yang khas, sehingga bisa digunakan untuk pengenalan di lapangan. Bentuk-bentuk perakaran tumbuhan mangrove yang khas tersebut (Gambar 2) adalah sebagai berikut:

a. Akar pasak (pneumatophore). Akar pasak berupa akar yang muncul dari system  akar kabel dan memanjang keluar ke arah udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada Avicennia, Xylocarpus dan Sonneratia.

b. Akar lutut (knee root). Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke arah permukaan substrat kemudian melengkung menuju ke substrat lagi. Akar lutut seperti ini terdapat pada Bruguiera spp.

c. Akar tunjang (stilt root). Akar tunjang merupakan akar (cabang-cabang akar) yang keluar dari batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat pada Rhizophora spp.

d. Akar papan (buttress root). Akar papan hampir sama dengan akar tunjang tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng, mirip struktur silet. Akar ini terdapat pada Heritiera.

e. Akar gantung (aerial root). Akar gantung adalah akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar gantung terdapat pada Rhizophora, Avicennia dan Acanthus.

Beberapa jenis mangrove juga memiliki morfologi buah yang sangat spesifik, sehingga dapat dijadikan alat identifikasi yang baik. Ada beberapa bentuk khas buah mangrove, yaitu : bulat memanjang (cylindrical), bola (ball), seperti kacang buncis (bean-like), dan sebagainya. Morfologi buah yang spesifik tersebut merupakan bentuk adaptasi, yakni antisipasi terhadap habitat yang tergenang dan substratnya yang berlumpur, dimana biji flora mangrove telah berkecambah selagi masih melekat pada pohon induknya. Fenomena ini disebut vivipari dan kriptovivipari (Gambar 3).

Vivipari adalah perkecambahan dimana embrio keluar dari perikarp selagi masih menempel pada ranting pohon, kadang-kadang berlangsung lama pada pohon induknya. Vivipari terjadi pada Bruguiera, Ceriops, Rhizophora, Kandelia dan Nypa.

Kriptovivivari adalah perkecambahan dimana embrio berkembang dalam buah, tapi tidak mencukupi untuk keluar dari pericarp. Kriptovivipari terjadi pada Aegialitis, Acanthus, Avicennia, Laguncularia dan Pelliciera. Viviparitas ini merupakan mekanisme adaptasi terhadap beberapa aspek lingkungan, diantaranya bertujuan untuk mempercepat perakaran, pengaturan kadar garam, keseimbangan ion, perkembangan daya apung dan memperpanjang waktu memperoleh nutrisi dari induk (Onrizal, 2008).

 2.3 Jenis – Jenis Mangrove

Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang termasuk tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis, 35 jenis berupa pohon, selebihnya terna (5jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis), dan parasit sebanyak dua jenis (Suwandhi dan Heryadi 2007).

Beberapa jenis mangrove yang dijumpai dipesisir Indonesia adalah Bakau (Rhizopora spp.), Apiapi (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp), Tancang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.), Tengar (Ceriops spp.), dan Buta-buta (Ecoeceria spp.).

Secara sederhana dapat dikenali masing-masing jenis pohon dengan ciri-ciri khas yang dimilikinya dalam uraian berikut ini.

  1. 1.   Pedada (Sonneratia spp.)

Dalam bahasa lokal jenis mangrove ini disebut juga bogem atau prapat. Jenis pohon ini termasuk dalam famili Sonneratiaceae.

Akar : Seperti pohon apiapi, pohon pedada banyak mengeluarkan akar pasak untuk pernafasan, hanya saja bentuknya tidak seperti pensil melainkan berukuran lebih tebal seperti kerucut meruncing di ujung dan menghadap ke atas.

Daun : Daun pedada berbentuk bulat, Bagian ujung daun membulat dan di tengahnya kadang-kadang terdapat bagian kecil berbentuk agak meruncing.

Bunga : Bunga agak besar ukurannya, panjang 2-4 cm.

Buah : Buahnya berbentuk bulat bewarna hijau berdiameter sekitar 5 cm. Kelopak buahnya meruncing berjumlah 6 keping.

 

  1. 2.   Api-api (Avicennia spp.)

Pohon Api-api atau juga disebut sebagai sia-sia termasuk dalam famili Avicenniaceae. Dikenal secara umum sebagai black mangrove .

Akar : Mempunyai akar pengisap udara berbentuk pinsil yang mencuat ke permukaan tanah lumpur.

Daun :  Daun agak tebal, ada yang berbentuk bulat lonjong atau berbentuk elips agak meruncing dibagian ujungnya, berukuran antara 3-18 cm, tergantung spesiesnya.

Bunga : Berukuran kecil berdiameter 4-5 mm, bewarna putih, kuning sampai jingga

Buah : Berukuran kecil antara 2,5-4 cm, berbentuk bulat dan terbungkus kelopak pelindung yang berbulu.

 

  1. 3.    Bakau (Rhizopora spp.)

Pohon ini disebut juga dengan bakau besar, bakau genjah, tinjang, slindur, bakau merah, bakau akik atau bakau kurap, tergantung spesiesnya. Di dunia dikenal secara umum sebagai red mangrove.

Daun :  Daun berbentuk oval atau ellips, agak keras, mengkilap bewarna hijau kekuningan dan tangkainya merah.

Bunga : Berbunga sepanjang tahun, tetapi berbunga lebih banyak antara bulan april sampai oktober. Bunganya tumbuh kembar, berukuran kecil, kelopaknya 10-14 mm dan lebar diameternya  8-10 cm bewarna putih sampai kuning, tidak berbau keras dan mempunyai empat petal.

Buah :  Buahnya vivipar, berbentuk seperti tongkat yang tumbuh berkembang sebagai tanaman emberio selama masih berada pada pohon induknya, disebut bakal pohon muda atau propagules.

 

  1. 4.   Tancang (Bruguiera spp)

Pohon tancang ini disebut juga lindur. Tancang termasuk juga dalam famili Rhizophoraceae. Mangrove ini tumbuh subur di lokasi yang kering, pada tanah yang dialiri air tawar, tetapi dapat tumbuh pula di tanah lumpur. Tingginya sekitar 15 m, tetapi bisa mencapai 36 m walaupun jarang yang mencapai ukuran tersebut.

Akar : Memiliki akar papan dan akar lutut. Akar lutut merupakan akar pernapasan yang terdiri atas jaringan seperti sistem sponge dengan banyak piri sebagi tempat menampung udara.

Daun :  Daunnya berbentuk ellips tumbuh berlawanan di kiri kanan dahannya, bewarna kuning kehijauan.

Bunga : Berbunga sepanjang tahun. Bunganya berjumlah sebanyak 1-5 tangkai per sudut daun. Kelopak bunga ada yang hijau muda, hijau kuning dan ada yang kemerahan.

 

  1. 5.   Tingi (Cerriops spp)

Tingi atu tengar adalah sejenis semak atau pohon mangrove kecil yang dapat mencapai ketinggian antara 3-6 m. Termasuk family Rhizophoraceae . Batangnya berkayu, kulit batang pohon bearna cokelat atau cokelat kekuningan. Tumbuh di daratan pada tempat yang masih dicapai air pasang.

Akar  : Mempunyai akar tipe akar papan yang menopang batang pohon di dasar.

Daun : Daun tumbuh berpasangan dan belawanan di kiri kanan dahannya. Warna daun hijau gelap di tempat yang rimbun, hijau kekuning-kuningan bila ditempat yang terang terkena sinar matahari. Bentuk daun ellips atau bulat lonjong, ujung daun membulat atau agak runcing di tengah.

Bunga : Bunganya relative kecil 0,5-1 cm, bewarna putih atau cokelat.

Buah : Buahnya bertunas (vivipar), hipokotil, berbentuk panjang runcing, diameter sekitar 1-1,2 cm. Warna buah hijau sampai kecokelatan dengan ukuran panjang antara 15-25 cm.

 

Tipe Ekologi Ekosistem Mangrove

Hutan-hutan mangrove menempati sebagian besar garis pesisir pantai, namun dibeberapa tempat juga dijumpai di teluk-teluk yang terlindung, atau disekeliling pulau-pulau di lepas pantai dan laguna kecil, di muara-muara sungai, di delta sungai-sungai besar, bahkan dapat masuk ke pedalaman sepanjang sungai. Selain itu juga mencakup daerah rawa-rawa dengan nipah yang luas. Walaupun memiliki daerah penyebaran yang luas, namun secara umum ekosistem hutan mangrove dibedakan dalam tiga tipe utama yaitu bentuk pantai atau delta, bentuk muara sungai/laguna dan bentuk pulau. Ketiga tipe tersebut tercatat di Indonesia (Lembaga pengkajian dan Pengembangan Mangrove, 2006).

 

Zonasi Hutan Mangrove

Zonasi atau pemintakan adalah keberadaan jenis-jenis pohon di hutan mangrove yang menempati areal dari daerah paling menjorok ke laut sampai ke darat (Suwandhi dan Heryadi, 2007). Zonasi pada hutan mangrove tergantung pada keadaan tempat tumbuh yang spesifik yang berbeda-beda pada suatu tempat dengan tempat yang lain.

Zonasi menggambarkan tahapan suksesi yang terjadi sejalan dengan perubahan tempat tumbuh hutan mangrove yang selalu berubah karena adanya laju pengendapan (sedimentasi) dan pengikisan (abrasi). Daya adaptasi dari tiap jenis tumbuhan mangrove terhadap keadaan tempat tumbuh akan menentukan komposisi jenis yang menyusun suatu hutan mangrove. Zonasi di tepian air biasanya tipis dan ditumbuhi oleh jenis pionir, seperti alba dan Sonneratia caseolaris .

Menurut beberapa ahli hutan mangrove, zonasi terhadap mangrove dipengaruhi oleh faktor kimia dan fisika tanah, kadar garam, dan pasang surut, suhu tanah dan sering tidaknya penggenangan yang terjadi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.

Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi hutan mangrove (Irwanto, 2006) adalah :

1. Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table) serta salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan.

2. Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi  tanah, tingginya  muka air dan drainase.

3. Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi jenis terhadap kadar   garam.

4. Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari jenis intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.

5. Pasokan dan aliran air tawar.

2.4 Faktor-Faktor Lingkungan Mangrove

Struktur komposisi dan distribusi spesies dan pola pertumbuhan organisme mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove adalah sebagai berikut :

2.4.1 Substrat

Menurut Toro (1988), tanah-tanah di hutan mangrove Indonesia umumnya terdiri atas tanah-tanah yang bertekstur halus, mempunyai tingkat kematangan yang rendah, memiliki kadar garam dan alkalinitas tinggi, dan sering mengandung lapisan sulfat masam atau bahan sulfidik (cat clay). Kandungan liat dan debu umumnya tinggi, kecuali tanah-tanah mangrove di pulau-pulau karang yang banyak mengandung pasir atau pecahan batu karang.

Pada dasarnya, pembentukan tanah mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

  1. Faktor fisik yang mencakup tranportasi nutrient oleh arus pasang aliran air laut, gelombang dan aliran sungai,
  2. Faktor fisik – kimia misalnya penggabungan dari beberapa partikel oleh pengumpulan dan pengendapan,
  3. Faktor biotik seperti produksi dan perombakan senyawa-senyawa organik.

Menurut Bengen (2000) secara umum karakteristik habitat hutan mangrove digambarkan sebagai berikut

•   Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,berlempung atau berpasir,

  • Daerahnya tergenangi air laut secara berkala baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensei genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove
  • Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat,
  • Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, air bersalinitas payau (2 – 22 ‰) hingga asin (38 ‰).

Salah satu sumber nutrien di ekosistem hutan mangrove berasal dari sedimen yang terperangkap oleh  vegetasi mangrove tersebut. Sedimen  yang berasal dari darat dan mengandung banyak nutrien dibawa oleh aliran sungai ke laut, dan oleh aruspasang  surut  sedimen  tersebut  dibawa  kembali ke  pantai  dan  ditangkapkemudian diendapkan di dasar vegetasi mangrove (Kamaruzzaman et al., 2001).

2.4.2 Salinitas (Kadar Garam)

Salinitas merupakan suatu indikator yang menunjukan banyaknya garam yang terlarut dalam air laut. Menurut Departemen Kehutanan dalam Lokakarya Pengembangan kelembagaan mangrove (2006), jenis garam yang paling banyak larut adalah NaCl, dengan jumlah Cl yang terlarut dalam air laut ini rata-rata 55% dan seluruh zat yang dapat larut dalam air laut.

Salinitas dan kadar garam air laut adalah suatu hal yang penting bagi pertumbuhan, laju daya tahan hidup, dan zonasi dari jenis-jenis mangrove. Mangrove dapat tumbuh subur di pesisir dengan salinitas  antara 10-30 ppt, namun ada jenis mangrove yang dapat tumbuh pada kondisi kadar garam yang lebih tinggi, misalnya Avicennia marina dan Ecoecaria agallocha dapat tumbuh pada salinitas tinggi yaitu sekitar 85 ppt (Suwandhi & Heryadi, 2007).

2.4.3 Suhu Air

Suhu penting bagi proses physiologi seperti fotosintesis dan respirasi. Menurut Suwandhi dan Heryadi (2007), produktifitas daun-daun segar pada Avicennia Marina adalah suhu 18-20 °C dan jika suhu dinaikkan lagi maka produktifitas daun-daun baru akan rendah. Rhizophora Stylosa, Ceriops spp, Exoecaria agallocha dan Lumnitzera spp produktifitas daun-daun segar tinggi pada suhu 26-28 °C.  Bruguiera spp, Pada suhu 27-30 °C.  Sedangkan Xylocarpus spp.  Pertumbuhannya baik pada suhu  21-26 °C, serta Xylocarpus granatum pada suhu 28 °C.

3.  Kesimpulan

3.1 Kesimpulan

Hutan mangrove juga dapat mendukung kehidupan di wilayah pesisir.

Sedangkan di daerah wilayah pesisir di Indonesia sudah terlihat adanya degradasi dari hutan mangrove akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas kelestariannya.

DAFTAR PUSTAKA

 Bengen,D.G, 2002. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem mangrove. PKSPL-IPB, Bogor.

 Bengen, DG. 2000 .Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangove. PKSPL– IPB Bogor.

 Departemen Kehutanan, 2006. Lokakarya Pengembangan Kelembagaan Mangrove. Direktorat Jenderal Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta.

Hogarth, P. J. 1999. The Biology of Mangrove. Oxford University Pres NewYork.

Irwanto,   2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove. www.irwantoshut.com. Yogyakarta.

 Kamaruzzaman, B.Y. , Mohd-Lokman H. , Sulong I., and Razanudin I. 2001.Sedimentation Rates on the Mangrove Forests of Pulau Che WanDagang, Kemaman Terengganu .

 Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove, 2006. Modul Pendidikan Lingkungan Mangrove. Jakarta

Onrizal, 2008. Panduan Pengenalan dan Analisis Vegetasi Hutan Mangrove. Bahan kuliah bagi peserta Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan pada Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sediadi, A. 1990. Pengaruh Hutan Bakau Terhadap Sedimentasi di Pantai Teluk Jakarta. Prosiding Seminar IV Ekosistem mangrove Bandar lampung

Simbolon, M. 1990. Sumber Daya Hutan Mangrove Menjelang Tahun 2000. Prosiding Seminar IV Ekosistem mangrove Bandar lampung.

Suwandhi, I. Heryadi, C. 2007. Hutan Bakau Manfaat Bagi Lingkungan dan Kehidupan manusia. Sinergi Pustaka Indonesia. Bandung.

Toro, A.1998. Beberapa Aspek Ekologi Ikan di Perairan Mangrove Sagara Anakan. Prosiding Seminar IV Ekosistem mangrove Bandar lampung

 

 

5 Responses to “”

  1. hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang harus selalu dijaga kelestariannya

  2. LITMAN (PSDAL 18) Says:

    Kelestarian hutan mangrove untuk menjaga ekosistem dan juga untuk kesejahteraan masyarakat sekitar hutan mangrove tersebut.

  3. Hutanm mangrove juga sebagai salah satu tanaman dengan akar-akarnya yang dapat menjadi penghalang ombak atau dapat sebagai tanamana yang dapat mencegah abrasi, ayo kita sama-sama menjaga kelestarian mangrove


Leave a comment