MAGISTER PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM UNIB

BUMI LESTARI LANGIT BEBAS POLUSI

PENGARUH PERAMBAH TERHADAP KERUSAKAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI TERBATAS (HPT) DI WILAYAH KABUPATEN SELUMA April 5, 2009

Filed under: Sumberdaya — Urip Santoso @ 12:45 am
Tags: , , , ,

By : Suyanto

 

Abstrak

Kawasan hutan di Kabupaten Seluma seluas 82.566,63 hektar. yang tediri dari kawasan Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas. Hutan Produksi Terbatas yaitu HPT Bukit Badas,  HPT Air Talo dan HPT Bukit Rabang.

Tingkat Kerusakan HPT Bukit Badas 16.75%, HPT Air Talo 9.24%, dan HPT Bukit Rabang 3.09%. Sedangkan tingkat kerusakan secara keseluruhan adalah 12.87%. Tingginya tingkat kerusakan pada HPT Bukit Badas dikarenakan adanya akses jalan seperti jalan tambang dan adanya desa di dalam kawasan. Desa dalam kawasan yaitu desa Lubuk Resam dan Desa Sekalak. Jenis tanaman yang di tanaman sebagian besar tanaman kopi.

Faktor-faktor yang mendukung kerusakan kawasan hutan adalah akses menuju kawasan, kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan, tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat perambah, kesuburan tanah, kurangnya pengawasan terhadap kawasan hutan dan ketidak tegasan dalam menjalankan aturan.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam penanganan perambah hutan adalah, dengan meningkatkan kapasitas Pemerintahan Daerah, melalui kebijakan-kebijakan, metode persuasif, dan meningkatkan patisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Partisipasi penuh mutlak dilakukan. Pemerintah harus menjamin semua kelompok dapat mengekspresikan dan mempertahankan kepentingan masing-masing. masyarakat ikut berperan dalam mengambil keputusan, terutama dalam pengelolaan sumber-sumber daya bersama.

 

I. Pendahuluan

 

Luas Kawasan hutan di Kabupaten Seluma 82.566,63 hektar yang tediri dari kawasan Hutan Konservasi yaitu Cagar Alam (Pasar Seluma, Pasar Ngalam, Pasar Talo dan Air Nipis) seluas 962,42 hektar dan Taman Buru Semidang Bukit Kabu 4.452,00 hektar,  Hutan Lindung Bukit Sanggul Reg. 37 seluas 62.942 hektar, Hutan Produksi Terbatas Bukit Badas Reg. 76 = 9.044,42 hektar,  HPT Air Talo Reg. 94 = 2.533,79 hektar dan Hutan Produksi Terbatas Bukit Rabang Reg. 78 =2.632.00 hektar (BPS, 2005).

 

Hutan Produksi Terbatas, yang ditekankan adalah aspek ekologisnya daripada aspek ekonomi. Hal  ini dikarenakan kawasan hutan produksi terbatas (HPT) rentan terhadap kerusakan. Peraturan Pemerintah RI No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, Pasal 24 ayat 23 pada Point c, kreteria Hutan Produksi Terbatas yaitu Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan, setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai 125-174, diluar kawasan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru.

 

Kondisi alam yang rentan lebih disebabkan karena pada umumnya kondisi topografi tanahnya yang curam dan bergelombang dengan kemiringan lahan di atas 45°. Apabila kawasan HPT dialih fungsikan untuk lahan perkebunan ataupun lahan petanian maka akan berdampak terhadap lingkungan seperti tanah longsor, banjir, penyempitan badan sungai atau pendangkalan permukaan sungai akibat sedimentasi.

 

Pengaruhnya tidak sebatas itu saja, tetapi juga dapat menyebabkan hilangnya species-species tumbuhan dan digantikan dengan jenis tanaman yang diinginkan oleh perambah, dan begitu juga terhadap satwa-satwa yang hidup didalamnya, kehilangan habitat dan sumber makanan untuk kelangsungan hidupnya.

 

Desentralisasi di bidang kehutanan yang telah membagi kewenangan dan tanggungjawab dalam pengelolaan hutan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang telah dimulai dari tahun 1999, sehingga adanya UU baru No. 41/1999 tentang Kehutanan yang merupakan sebagai penganti Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 diharapkan dapat tercapai pengelolaan hutan yang lebih baik lagi. Menurut DRSP (2007), melalui desentralisasi, pemerintah daerah sebenarnya berpotensi untuk mendapatkan pemasukan yang lebih besar dari pengelolaan sumberdaya alam. Namun yang dilakukannya kebijakan populis yang memberikan hak pengelolaan kepada kelompok-kelompok masyarakat, tanpa pembinaan dan persiapan yang matang.

 

Semakin kompleknya permasalahan tidak bisa dibiarkan terus terjadi, perlu adanya langkah-langkah yang dapat menyelamatkan kelangsungan kawasan disatu sisi dan kepentingan masyarakat sebagai perambah di sisi lainnya. Adanya berbagai informasi tentang perambah dilapangan, akan sangat membantu dalam menentukan langkah-langkah apa saja yang akan diperlukan sehingga permasalaan yang selama ini terjadi tidak semakin berlarut.

 

 

I.             Perambah Hutan

Perambah dapat diartikan Perorangan atau individu maupun kelompok dalam jumlah yang kecil maupun kelompok yang besar, menduduki suatu kawasan hutan untuk dijadikan sebagai areal pekebunan maupun pertanian baik yang bersifat sementara ataupun dalam waktu yang cukup lama pada kawasan hutan negara. Aktifitas perambah tidak terbatas pada usaha perkebunan atau pertanian saja tetapi dapat juga dalam bentuk penjarahan hutan untuk mengambil kayu-kayunya ataupun bentuk usaha lain yang menjadikan kawasan sebagai tempat berusaha secara illegal.

 

Perambahan kawasan hutan lebih disebabkan kurangnya lahan usaha masyarakat sekitar hutan. Okupasi yang dilakukan lebih kepada kepentingan individu akibat keterdesakan sempitnya usaha. Termasuk dalam katagori ini masyarakat yang masih mempraktekkan pola perladangan berpindah. Masyarakat umumnya mengetahui bahwa yang mereka okupasi atau dirambah adalah kawasan hutan negara yang tidak serta merta dapat mereka miliki (Ali Djajono, 2009).

 

II.          Kondisi Kawasan Hutan HPT

Kawasan Hutan Produksi di Kabupaten Seluma adalah Hutan Produksi Terbatas, yang terbagi menjadi tiga wilayah. Masing-masing HPT Bukit Rabang Reg. 78 yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bengkulu Selatan, HPT Air Talo Reg. 94 yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Ulu Talo Kab. Seluma dan HPT Bukit Badas Reg. 76 yang berbatasan dengan Kecamatan Seluma Utara dan Kecamatan Lubuk Sandi.

 

Kondisi tingkat kerusakan kawasan Hutan Produksi Terbatas di Kabupaten Seluma dapat di lihat pada Tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1. Luas areal dan jumlah perambah dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas, hasil pendataan Dinas Kehutanan Kabupaten Seluma Tahun 2006.

 

No.

Kawasan HPT

Luas Total (Ha)

Luas Dirambah (Ha)

Jumlah perambah (KK)

Jenis Tanaman

Ket.

1.

Bukit Badas Reg. 76

9.044,42

1.514,50

666

Kopi

 

2.

Air Talo Reg. 94

2.533,79

234,00

126

Kopi

 

3.

Bukit Rabang Reg. 78

2.632,00

81,30

42

Kopi

 

 

JUMLAH

14.210,21

1.829

834

 

 

Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Seluma 2006.

3.1    Kawasan HPT Bukit Badas

Melihat dari hasil pendataan di lapangan pada tahun 2006 yang ditampilkan pada tabel 1 di atas, bahwa kerusakan kawasan hutan HPT Bukit Badas telah mencapai 16,75 persen. Lahan yang dirambah sebagian besar di tanam dengan tanaman kopi, 96,14 persen sedangkan sisanya 3.86 persen dijadikan sebagai areal persawahan.

Masyarakat perambah, 74,13 persen adalah masyarakat yang berasal dari sekitar kawasan maupun masyarakat yang berada di dalam kawasan. Di dalam kawasan HPT Bukit Badas ada 2 (dua) desa yang telah didefenitipkan yaitu, Desa Lubuk Resam dan Desa Sekalak.

Sisanya 15,77 persen merupakan penduduk pendatang dari daerah lain yang merambah kawasan dan berkebun dengan membuat pondokan untuk tempat tinggal sementara di lahan yang dibuka. Biasanya mereka setelah panen pulang ke daerah masing-masing setelah beberapa bulan baru kembali lagi.

 

2.2        Kawasan HPT Air Talo

Jumlah perambah di Kawasan HPT Air Talo lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perambah HPT Bukit Badas. 99.99 persen merupakan penduduk pendatang yang berasal dari Kabupaten Bengkulu Selatan, sedangkan 0,01 persen merupakan penduduk yang berasal dari desa sekitar kawasan. Tanaman yang dominan ditanam oleh mereka adalah tanaman kopi.

 

2.3        Kawasan HPT Bukit Rabang

Kawasan HPT Bukit Rabang kondisinya tidak begitu parah dibandingkan dengan kawasan HPT Bukit Badas dan HPT Air Talo. Luasan areal yang telah beralih fungsi dan dirambah adalah 81,30 hektar atau 3.09 persen dari jumlah luasan wilayah kawasan. Kebanyakan masyarakat berasal dari desa-desa disekitarnya. Umumya tanaman yang mereka tanaman adalah tanaman kopi.

Kondisi lebih baik pada kawasan dapat disebabkan karena jauh dari desa-desa yang ada disekitarnya, dan akses jalan untuk menuju kawasan tidak tersedia, mengakibatkan  masyarakat kesulitan untuk mencapai kawasan HPT.

 

 

 

III.       Desa Dalam Kawasan Hutan

Pada kawasan HPT Bukit Badas, terdapat desa yang telah didefenitipkan, yaitu :

Tabel 2 Desa-desa dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Bukit Badas Reg. 76.

NO

NAMA DESA

LUAS WILAYAH

(M2)

JUMLAH PENDUDUK

(Jiwa)

WILAYAH KECAMATAN

1.

2.

Lubuk Resam

Sekalak

918

466

927

458

Seluma Utara

Seluma Utara

 

JUMLAH

1.384

1.385

 

 

 

IV.  Desa Penyangga atau Di sekitar Kawasan Hutan

5.1 Desa Penyagga Kawasan HPT Bukit Badas

Kawasan HPT Bukit Badas Reg. 76 berbatasan langsung dengan Wilayah Kecamatan Lubuk Sandi dan Kecamatan Seluma Utara. Di Kecamatan Lubuk Sandi ada 8 desa sebagai desa penyangga kawasan. Jumlah keseluruhan penduduk dari 8 desa 6.002 Jiwa dengan luas wilayah 18.769 M2. Selanjutnya untuk Kecamatan Seluma Utara juga terdapat 8 desa sebagai desa penyangga dengan jumlah penduduk 8.451 Jiwa dan luas wilayah keseluruhan 8.729 M2.

 

5.2 Desa Penyangga Kawasan HPT Air Talo

Kawasan HPT Air Talo Reg. 94 berbatasan langsung dengan wilayah Kecamatan Ulu Talo. Jumlah desa penyangga kawasan ada 9 desa dengan jumlah penduduk keseluruhan 6.827 jiwa dan luas wilayah 22.716 M2. Penduduk desa penyangga di Kecamatan Ulu Talo merupakan penduduk asli dan pendatang. Penduduk pendatang berasal dari pulau jawa melalui program transmigrasi.

 

5.3 Desa Penyangga Kawasan Bukit Rabang

Kawasan HPT Bukit Rabang Reg. 78 berbatasan langsung dengan wilayah kecamatan Semidang Alas. Ada 11 desa yang merupakan desa penyangga kawasan. Jumlah penduduk dari 11 desa tersebut adalah 5.378 Jiwa dan Luas wilayah desa keseluruhan 1.374,6 M2.

HPT Bukit Rabang merupakan kawasan hutan yang letaknya lintas kabupaten, yaitu Kabupaten Seluma dengan Kabupaten Bengkulu Selatan. Dalam pengurusannya diserahkan ke pada Pemerintah Daerah masing-masing.

 

V.           Faktor-faktor yang Mendukung Kerusakan Kawasan Hutan

6.1 Akses Menuju Kawasan

Ketersediaan jalan sangat berpengaruh terhadap kelestarian kawasan. Kemudahan bagi masyarakat perambah menuju ke kawasan akan menstimulasi bagi mereka untuk membuka lahan-lahan di dalam kawasan hutan. Tersedianya akses jalan akan memudahkan bagi mereka untuk mengangkut barang-barang kebutuhan maupun hasil dari tanaman yang diusahakan.

Aktivitas tambang di dalam kawasan hutan, dapat merupakan penyebab masuknya masyarakat ke kawasan. Biasanya adanya aktivitas tambang, masyarakat semakin banyak melakukan perambahan hutan akibatnya semakin memperparah kondisi dari kawasan itu sendiri.

Jalan tambang merupakan salah satu akses bagi perambah. Jika lokasi tambang semakin ke dalam kawasan hutan maka kegiatan perambah juga akan semakin ke dalam, bahkan kegiatan perambahan dapat mereka lakukan beberapa kilometer lebih jauh lagi dari lokasi yag tersedia jalan.

 

6.2 Kemiskinan masyarakat di sekitar Kawasan

Adanya kenyataan bahwa hampir semua masyarakat disekitar kawasan hutan adalah masyarakat miskin. Setiap wilayah mempunyai karakteristik kemiskinan tersendiri (Ali Djajono, 2009). Menurut Khaerul Tanjung (2006), masyarakat dipedesaan hanya mengandalkan sumber mata pencariannya dari sektor pertanian. Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap keluarga serta peningkatan kebutuhan, menyebabkan masyarakat yang kurang mampu melakukan perluasan areal pertaniannya.

Masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan tidak secara keseluruhan dalam kondisi miskin, bagi anggota masyarakat yang secara ekonomi lebih maju akan memanfaatkan kondisi kemiskinan masyarakat untuk lebih meningkatkan kondisi ekonomi mereka dengan cara memonopoli dalam pembeliaan hasil-hasil pertanian atau perkebunan dari masyarakat. Kondisi masyarakat miskin terkadang ikut diciptakan oleh mereka, dengan harapan tingkat ketergantungan masyarakat miskin semakin tinggi.

Keterbatasan lahan terkadang tidak terjadi pada beberapa daerah. Untuk daerah-daerah yang padat penduduknya, menjadi faktor dominan tetapi untuk daerah-daerah yang belum padat jumlah penduduknya, keterbatasan lahan yang mereka miliki belum begitu dirasakan. Sistem pertanian yang diterapkan oleh masyarakat dengan sistem pertanian tradisional, akibatnya banyak lahan-lahan yang terbuka di luar kawasan menjadi lahan yang tidak produktif. Untuk meningkatkan produktifitas lahan salah satunya yang haus dimiliki adalah pengetahuan atau kemampuan dalam pengelolaan lahan dan ketersediaan modal. Sedangkan masyarakat disekitar kawasan hutan tidak memiliki kemampuan dan  kurang atau tidak memiliki modal keuangan yang mencukupi.

.

6.3 Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Masyarakat Perambah

Masyarakat perambah, tingkat pendidikan pada umumnya rendah hasil Survei Dephut dan BPS tahun 2004 menyatakan tingkat pendidikan masyarakat sekitar hutan ± 12,8 juta (42,7%) tidak mempunyai ijazah, 11,6 juta (39%) Tamat Sekolah Dasar (SD)/setara, 3,8 juta (12,3%) sampai SMP/setara, dan 1,6 juta (5,2%) SMA/setara (Planolog, 2007). Selanjutnya kurangnya keahlian dibidang lain dapat juga mendorong untuk melakukan kegiatan perambahan hutan karena tidak ada pilihan lain, dan dilihat dari kepastian usaha lebih menjanjikan serta dapat menjamin untuk kelangsungan hidup anggota keluarganya. Perambahan dilakukan dengan harapan kondisi ekonomi keluarga akan menjadi lebih baik lagi. Biasanya kegiatan perambah dilakukan karena faktor kebiasaan dari generasi yang sebelum-belumnya dan kebiasaan itu masih terus dipelihara dan dijalankan oleh generasi selanjut.

Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat perambah, berdampak pada kelestarian hutan dan keselamatan lingkungan. Memang terkadang di dalam masyarakat tradisional masih memiliki kearifan lokal yang bisa memanfaatkan dengan menekan dampak yang ditimbulkan, tetapi untuk waktu sekarang kerifan tesebut telah hilang dikarenakan tuntutan hidup dan desakan ekonomi yang semakin sulit.

 

6.4 Kesuburan Tanah

Selama ini banyak yang beranggapan bahwa kawasan hutan yang selalu hijau dan dihuni oleh pohon-pohon yang besar, memiliki lahan yang subur. Anggapan ini yang sebenarnya mendorong bagi perambah untuk melakukan perluasan lahan di kawasan hutan disamping ada faktor-faktor lainnya. Padahal masih banyak lahan-lahan di luar kawasan yang masih bisa dimanfaatkan untuk areal pertanian maupun perkebunan. Anggapan yang menganggap bahwa lahan hutan subur adalah anggapan yang keliru. Tanah-tanah di hutan yang nampaknya lebih subur sangat rentan terhadap gangguan dari faktor luar. Kesuburan tanah di hutan terjadi karena perjalanan waktu yang panjang sehingga ekosistem hutan menjadi stabil. Stabilnya ekosistem hutan karena di dalam hutan terjadi siklus hara tertutup. Jika ada gangguan atau kerusakan maka akan mempengaruhi interaksi yang terjadi di dalam ekosistem, seperti siklus hara, akibatnya unsur hara yang ada akan tercuci atau terbawa oleh air hujan yang mengalir dipermukaan tanah (run off).

Kehilangan unsur hara di dalam ekosistem hutan mengakibatkan lahan-lahan hutan yang dibuka akan mengalami penurunan kualitas kesuburan tanahnya, ditambah juga dengan sistem pembukaan lahan dengan sistem tebas, tebang dan bakar akan lebih bayak lagi kehilangan material-material unsur hara yang tersimpan pada tumbuhan.

 

6.5 Kurangnya Pengawasan terhadap Kawasan Hutan

Kurangnya pengawasan dapat menyebabkan masuk perambah ke dalam kawasan hutan. Hal ini dapat memberikan anggapan kepada para perambah bahwa tindakan yang mereka lakukan masih dalam batas yang wajar dalam artian memfungsikan kawasan untuk dimanfaatkan sehingga secara ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan bagi para perambah.

Kurangnya pengawasan terhadap kawasan hutan dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya :

1.      Fasilitas sarana dan prasarana yang tersedia tidak memadai atau mendukung untuk melakukan pelaksanaan kegiatan pengawasan yang lebih intensif.

2.      Jumlah personil pegawai kehutanan yang tidak seimbang dengan luas lahan yang harus di awasi

3.      Sulitnya medan yang harus dilalui sehingga menuntut kecakapan personil untuk mampu mengawasi wilayah HPT di Kabupaten Seluma.

 

6.6 Ketidak Tegasan dalam Menjalankan Aturan

Aturan meupakan pedoman untuk menjaga keselamatan kawasan hutan. Aturan-aturan yang diberlakukan terkadang penerapan dilapangan kurang atau tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Akibatnya kawasan hutan yang dirambah kerusakan yang dialami semakin parah. Ketidak tegasan dalam menjalankan aturan pada aparat kehutanan akan berpengaruh terhadap kredebilitas institusi di mata masyarakat.

Masyarakat semakin berani untuk merambah kawasan dikarenakan dari kelompok-kelompok mereka yang telah lebih dahulu melakukan pengelolaan kawasan Hutan Produksi Terbatas tidak mendapat sangsi atas pelanggaran yang dilakukan. Anggota lain juga termotivasi untuk melakukan tindakan yang sama, pada akhirnya semakin lama mereka mendiami kawasan akan semakin memperkuat eksistensi mereka. Mereka juga menganggap bahwa mereka mendiami kawasan telah turun-temurun, sejak dari nenek moyang mereka sampai kepada anak cucunya..

 

VI.              Penanganan Perambah Hutan

Melihat dari permasalahan yang terjadi, guna untuk mendukung langkah-langah pelestarian sumberdaya hutan, diperlukan langkah-langkah yang bisa memuaskan semua pihak, dalam artian dapat mengakomodasi semua kepentingan terutama masyarakat perambah yang merasa terancam eksistensi mereka terhadap kawasan yang mereka rambah dan pemerintah yang diberikan tanggung jawab untuk menjaga keselamatan kawasan hutan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dari melihat permasalahan di atas adalah :

1.      Meningkatkan Kapasitas Pemerintahan Daerah

Melalui desentralisasi, badan-badan pemerintahan lokal memiliki peran dan kewenangan yang besar dalam melindungi hutan dan sumber daya alam di indonesia. Pemerintahan daerah diharapkan mampu memahami permasalahan hutan di daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan warga serta menjamin penyelenggaraan sistem hukum dan peraturan-peraturan yang ada.

 

2.      Melalui kebijakan-kebijakan.

Kebijakan-kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah seperti melakukan inventarisasi perambah hutan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang akurat tentang jumlah perambah dan luas yang dirambah.

 

3.      Metode persuasif, yaitu dengan melakukan pengertian-pengertian sehingga perambah bersedia meninggalkan lokasi perambahan dan tidak kembali lagi melakukan perambahan. Disampaing itu juga dilakukan pembinaan terhadap masyarakat, untuk menghindari terjadinya perambahan kembali pada kawasan hutan. Pembinaan ini dilakukan dengan penyuluhan bina desa, pembangunan hutan kemasyarakatan, penanaman jenis-jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan dan memberikan nilai tambah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat disepanjang batas luar kawasan, rehabilitasi dan konservasi.

 

4.      Meningkatkan patisipasi masyarakat dalam pengelolaan Hutan.

Pemerintah setempat, masyarakat, kalangan dunia usaha, kalangan perguruan tinggi, dan kelompok-kelompok lain yang berkepentingan harus membantu menyusun agenda untuk mendorong masyarakat menjadi aktor utama yang berpartisipasi dalam pengelolan hutan.

Partisipasi penuh mutlak dilakukan. Pemerintah harus menjamin bahwa semua kelompok dapat mengekspresikan dan mempertahankan kepentingan masing-masing. Semua anggota masyarakat perlu ikut berperan dalam mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut kehidupan mereka, terutama dalam pengelolaan sumber-sumber daya bersama.

 

Hal inilah yang dapat dilakukan setidaknya untuk menyelamatkan sisa kawasan Hutan Produksi Terbatas yang belum dirambah. Disamping melakukan upayah-upayah perehabilitasian pada areal kawasan hutan yang telah dirambah oleh masyarakat sekitarnya atau masyarakat pendatang dari daerah luar dengan satu harapan bahwa Kawasan Hutan Produksi Terbatas dapat berfungsi kembali sesuai dengan peruntukannya.

 

VII.           Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut :

1.                  Berdasarkan pendataan langsung terhadap luas atau tingkat kerusakan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) adalah HPT Bukit Badas 1.514,5 Ha (16.75%), HPT Air Talo 234 Ha (9.24%), dan HPT Bukit Rabang 81,30 Ha (3.09%). sedangkan tingkat kerusakan secara keseluruhan adalah 12.87%.

2.                  Tingkat Kerusakan yang paling tinggi atau parah terjadi pada kawasan HPT Bukit Badas, ini disebabkan karena akses jalan menuju ke lokasi kawasan lebih tersedia. Begitu juga terhadap Kawasan HPT Air Talo yang bebatasan langsung dengan lahan warga masyarakat desa yang berada disekitar kawasan.

3.                  Tingkat kerusakan kawasan hutan dapat juga disebabkan oleh adanya terdapat desa di dalam kawasan. Di HPT Bukit Badas ada 2 (Dua) desa yang berada di dalam kawasan yaitu Desa Lubuk Resam dan Desa Sekalak.

4.                  Jenis tanaman yang dominan yang ditanam para perambah adalah tanaman kopi. Pilihan jenis tanaman ini disebabkan oleh karena harga tanaman kopi yang tinggi, kecocokan atau kesesuaian dengan tipe lahan yaitu daerah perbukitan yang memiliki kelembaban dan curah hujan yang tinggi.

5.                  Melihat dari tingkat kerusakan kawasan yang semakin mengkwatirkan maka diperlukan upaya-upaya untuk menyelamatkan kawasan hutan yang tersisa dan yang telah dirambah dengan melibatkan semua aspek yang mempunyai kepentingan terhadap kawasan, dengan harapan kondisi kawasan akan dapat pulih kembali.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Airlangga Z.C., 2008. Desentralisasi Pengelolaan Hutan : Masyarakat Menjadi Aktor Utama. www.kabarindonesia.com. 26 September 2008, 16;34;07 WIB.

 

ANTARA News, 2009. Perambah Hutan Produksi Besar-besaran di Muko-muko. File://F:\PERAMBAH\Perambahan-Hutan-Produksi-Besar-Besaran-di-Mukomuko.php.htm.

 

ANTARA News, 2008. Perambahan Hutan Produksi Besar-besaran. File://E:\perambahan hutan\Balai Pemantauan Hutan Produksi-Perambahan-Hutan-Produksi-Besar-Besaran-di-Mukomuko.php.htm

 

Azhuri, M., 2007. Menyiasati Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Buletin Planolog Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

 

BPS, 2005. Seluma Dalam Angka 2005. Balai Pusat Statistik Kabupaten Seluma. Bengkulu.

 

Dinas Kehutanan, 2006. Laporan Pendataan Perambah Hutan di Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Poduksi Terbatas di Wilayah Kabupaten Seluma Tahun 2006. Pemerintah Kabupaten Seluma Dinas Kehutanan. Bengkulu.

 

Djajono A., 2009. Persoalan Social Ekonomi Seputar Kawasan Hutan “Perambahan Kawasan”.  Artikel. www concern.net. Friday, 23 Januari 2009 07:38

 

Djajono A., 2007. Mencari Bentuk Peencanaan Berbasis Kawasan. Buletin Planolog Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

 

Setiadi T., 2007. RaTA (Metode untuk Menganalisis Konflik Sistem Penguasaan Tanah). Buletin Planolog Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

 

Siswanty, L., 2007. Informasi Social Ekonomi Sebagai Salah Satu Variable dalam Perencanaan Berbasis Kawasan. Buletin Planolog Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

 

Soemarwoto, O., 2006. Peladang dan Kabut. http://www.Questia.Com.

 

Perhutani, 2008. Perambahan Hutan Di KPH Ciamis. Website Perum Perhutani. http://www.perumperhutani.com. 9 maret 2009, 11;9

 

­­­­­­­­­­­­­­­__________ , 2007. Hutan di Kabupaten Pemekaran Bengkulu Belum Punya Tapal Batas. Harian Berita Sore. Senin, 23 Juli 2007.    .

 

USAID & DRSP, 2007. ”Perspektif Pengelolaan Sumber Daya Hutan sebagai Aset Daerah dalam Revisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah” Catatan Diskusi pada FGD Sektoral-Sumberdaya Hutan. Jakarta.

 

WWF-Indonesia, 2006. Ada Apa dengan Perambah Hutan di Tesso Nilo. File://E:\perambah hutan\WWF-Indonesia Tesso Nilo-Bukit 30 Landscape.htm. 24 Juli 2006, 01:59:23.

 

Yunita Sari R., 2009. Pengelolaan Sumber Daya Hutan Dengan Konsep Seimbang dan Dinamis. www.kabarindonesia.com.

 

9 Responses to “PENGARUH PERAMBAH TERHADAP KERUSAKAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI TERBATAS (HPT) DI WILAYAH KABUPATEN SELUMA”

  1. Agusri Ramadhan, PSDAL XVIII UNIB 2016 Says:

    Tingginya tingkat kerusakan pada HPT disebabkan oleh tuntutan ekonomi dan kemiskinan masyarakat yang berada disekitar HTP karena masyarakat lebih memperhatikan dampak ekonomis dibandingkan dengan dampak ekologis. Selain itu juga perbedaan Persepsi dan kurangnya pemahaman masyarakat akan kelestarian HPT sehingga mereka memperluas lahan sekitar HPT dengan menanam tanaman semusim yang lebih cepat menghasilkan dibanding dengan tanaman berumur panjang termasuk tanaman kehutanan.

  2. Weli sulastri Says:

    Perlunya kebijakan pemerintah dalam penyediaan lahan pertanian/perkebunan agar masyarakat tidak melakukan perambahan ke areal HPT. Intensifikasi pertanian jg sangat penting untuk meningkatkan produktifitas hasil pertanian/ perkebunan. Pihak instansi terkait seperti dinas pertanian harus melakukan terobosan guna menemukan jenis tanaman yg yang tidak membutuhkan areal yg luas dalam menghasilkanroduktivitas tinggi

  3. Weli sulastri Says:

    Para penegak hukum kehutanan perlu memberikan sanksi tegas sesuai dg Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan kepada individu/kelompok masyarakat yang melakukan perambahan karena ini sangat penting. Jika dibiarkan maka akan terjadi peningkatan jumlah perambah dari tahun ke tahun yang berakibat berkurangnya luasan HPT

  4. Yartiwi, PSDAL 18 Says:

    Para penegak hukum masih belum optimal menindak pidanakan bagi perambah hutan, padahal kesalahan itu sdh jelas. Selain itu sosialisasi tentang bahayanya merambah dihutan konservasi masih perlu ditingkatkan lagi.


Leave a comment